Biasakno..kulinakno..omongmu podho karo karepe atimu

11/03/09

Insan Kamil : Jihad, Ijtihad, dan Mujahadah

Kata Jihad, Ijtihad, dan Mujahadah membentuk tiga serangkai kata kunci yang dapat mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Ketiganya harus sinergi di dalam diri, tidak bisa hanya mengandalkan salah satu di antaranya, sebagaimana ditampilkan oleh Rasul sebagai teladan kita (ushwatun hasanah).Pendahuluan Kata jahada (bersungguh-sungguh) membentuk tiga kata kunci yang dapat mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Jihad berarti perjuangan lebih bersifat fisik. Dilakukan secara optimal untuk mencapai suatu tujuan mulia. Ijtihad berarti perjuangan secara intelektual yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan mujahadah adalah kelanjutan dari perjuangan bersifat otot dan otak, yaitu perjuangan batin atau rohani. Seseorang yang mendambakan kualitas hidup yang sejati atau paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah-satu di antara ketiga kualitas perjuangan tadi, tetapi ketiga-tiganya harus sinergi di dalam diri, sebagaimana ditampilkan oleh Rasul sebagai teladan kita (ushwatun hasanah) atau sering dilambangkan sebagai manusia paripurna (insan kamil). Rasulullah sangat terampil di dalam perjuangan fisik, terbukti dirinya sering terlibat sebagai panglima angkatan perang yang sangat disegani oleh kawan dan lawan. Beliau juga dikenal sebagai orang yang memiliki kempuan intelektual yang pikiran-pikirannya berhasil menyatukan bangsa Arab dan menghijrahkannnya dari pola pikir dan prilaku jahiliyyah ke pola pikir dan prilaku islamiyyah yang humanis dan madani. Jihad yang sesungguhnya adalah perpaduan antara ketiga konsep tersebut. Jika jihad terpisah dari unsur ijtihad dan mujahadah sesungguhnya tidak layak disebut jihad, mungkin lebih tepat disebut dengan nekat, dan korbannya tidak dapat disebut syuhada, bahkan mungkin hanya bisa disebut mati konyol. Allah Swt mengecam keras orang-orang yang mati konyol, yaitu orang-orang yang sengaja menceburkan diri ke dalam kebinasaan: وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Baqarah/2:195), Jihad Jihad yang dimaksudkan di sini ialah perjuangan yang dilakukan seseorang dengan mengandalkan unsur fisik atau otot, meskipun perjuangan non-fisik juga masuk kategori jihad di tempat lain. Jihad secara fisik tidak mesti harus diukur kemampuan seseorang untuk mengangkat senjata melawan musuh-musuh Islam, tetapi juga melakukan berbagai usaha secara fisik untuk terwujudnya keadilan, keamanan, keselamatan dan ketinggiian martabat manusia juga termasuk jihad. Bahkan menyingkirkan batu kerikil di jalanan yang dapat membahayakan orang lain termasuk cabang dari jihad, kata Rasulullah Saw. Medan jihad di sekitar kita semakin banyak, meskipun musuh-musuh dari kaum kafir secara fisik tidak tampak. Semua kondisi dan keadaan yang menindas dan mereduksi hak-hak asasi manusia dapat dijadikan sebagai medan jihad. Kebodohn, kemiskinan, rasa takut, kondisi kesehatan masyarakat yang rendah, berbagai penyakit yang mewabah, dan semacamnya, juga menjadi lahan jihad yang tak kalah mulianya dengan menghadapi musuk dari kaum kafir. Jihad yang dilakukan harus dengan niat luhur lalu dipadu dengan taktik, cara, dan strategi yang benar dan tepat. Jihad tidak boleh kontra-produktif. Jihad yang dilakukan Rasulullah selalu mendatangkan manfaat yang lebih besar dengan resiko yang sangat minim. Rasulullah memang pernah mengatakan, “suarakanlah kebenaran sekalipun pahit” (qul al-haq walau kana murran), tetapi tidak boleh karenanya menyebabkan kita menjadi korban, sebagaimana disebutkan ayat di atas. Jihad yang dilakukan tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangkan mudarat lebih besar daripada manfaat, sesungguhnya tidak tepat disebut jihad. Mungkin lebih tepat disebut perbuatan sia-sia, atau bahkan keonaran (al-fasad). Banyak contoh dalam Al-Qur’an dan dalam sejarah umat Islam, bahwa tidak sedikit orang yang mau berbuat baik tetapi tidak disertai perencanaan yang matang maka hasilnya kerugian. Jihad yang dipimpin Rasulullah selalu berhasil karena beliau tidak pernah mengnyampingkan perhitungan-perhitungan. Jihad demikian inilah yang dijanjikan dalam Al-Qur’an: كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Baqarah/2: 249). Unsur yang harus ada dalam jihad antara lain, adanya keterlibatan fisik di dalamnya, ada perhitungan dan perencanaan yang matang, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang, harus lebih banyak manfaat daripada mudaratnya menurut ukuran-ukuran universal tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah). Ukuran-ukuran subyektif di dalam menjalankan peran jihad amat riskan. Jihad yang berskala masif yang melibatkan banyak orang membutuhkan organisasi dan mmanajemen. Sebab jika tidak, maka jihad akan menjadi riskan dan penuh dengan resiko yang bisa merusak sesuatu yang sudah mapan dan produktif. Rasulullah sendiri berkali-kali melakukan taktk langka mundur, misalnya erpaksa melakukan hijrah demi untuk menyusun strategi selanjutnya. Jadi hijrah bukan tindakan pengecut yang meninggalkan jama’ah untuk menyelamatkan diri, tetapi yang demikian itulah yang harus dilakukan dalam upaya mencapai kemenangan. Unsur lain yang harus ada dalam jihad ialah motivasi kuat yang didorong oleh niat tulus hanya untuk Allah Swt. Tanpa niat dan motivasi ini jihad sulit mencapai tujuan yang diharapkan. Mungkin secara fisik berhasil, misalnya menaklukkan musuh, tetapi harus pula berhasil di sisih Tuhan yang diukur berdasarkan niat suci tadi. Dalam konteks individu, setiap orang harus melakukan jihad sesuai dengan kadar kemampuan dan menurut kekhususan yang Allah berikan kepadanya. Setiap orang pasti memiliki kekhususannya masing-masing dan kekhususan itu perlu disampaikan atau dibagikan kepada orang lain yang mungkin membutuhkannya. Ijtihad Ijtihad di sini diartikan perjuangan secara intelektual seseorang. Tidak semua orang dapat melakukan ijtihad. Unsur-unsur yang harus dipenuhi seseorang baru dapat disebut mujtahid tergantung dalam berbagai konteks. Dalam konteks fikih, seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab, ‘Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, muslim, dan praktisi muslim. Dalam konteks sosiologi Islam, seorang mujtahid difigurkan sebagai seorang yang mampu memberikan sumbangan intelektual dalam membela dan mengangkat derajat umat Islam dalam berbagai segi. Seorang ilmuan muslim yang ahlin dalam bidang ekonomi dapat menyumbangkan konsep-konsepnya dalam memberantas kemiskinan umat, seorang fisikawan muslim dapat menyumbangkan teknologi perang untuk kejayaan umat manusia, seorang ahli obat-obatan dapat menyumbangkan ramuan dan resep untuk kesehatan manusia, dan seorang dokter muslim dapat mengupayakan penyembuhan pasien dengan cara-cara islamami dan seterusnya. Ijtihad dan jihad masing-masing memiliki kekhususan. Kalau jihad perjuangan yang dilakukan lebih bersifat temporer, tergantung suasana dan intensitas tantangan, sedangkan perjuangan melalui ijtihad relatif lebih panjang, terutama jika diukur semenjak seseorang menuntut ilmu pengetahuan, maka profesinya kemudian diabdikan ke dalam masyarakat. Perjuangan melalui ijtihad lebih bersifat strategis dan berjangka panjang. Sementara perjuangan melalui jihad lebih berjangka pendek. Kesulitan yang dihadapi antara keduanya tergantung kondisi yang dihadapi. Boleh jadi tingkat kesulitan dan tantangan jihad lebih berat, terutama di waktu kekacauan dan peperangan. Akan tetapi perjuangan ijtihad dituntut lebih banyak di masa damai, terutama untuk memikirkan kualitas hidup umat yang lebih layak. Dari segi peralatan juga berbeda. Seorang mujahid mungkin lebih banyak membutuhkan alat-alat fisik, seperti persenjataan atau alat-alat bangunan, tetapi seorang mujtahid lebih banyak membutuhkan fasilitas dan institusi sebagai arena untuk melahirkan konsep-konsep kesejahteraan umat. Seorang mujahid tidak lebih baik daripada mujtahid. Nabi secara arif pernah mengatakan: “Goresan tinta pena para ulama lebih mulia daripada tetesan darah para syuhada”. Sebaliknya orang yang hanya memiliki kemampuan otot maka jihad baginya adalah perjuangan yang paling istimewa. Seseorang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk syurga, bahkan kalau terpaksa, “tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat di badannya, karena bagaimanapun yang bersangkutan akan langsung masuk syurga”, kata Rasulullah Saw. Dalam konteks individu, setiap orang dikaruniai akal pikiran. Dengan akal pikiran inilah yang akan membedakan manusia dengan binatang atau makhluk Tuhan lainnya. Akal pikiran yang akan mengorbitkan manusia ke martabat kemnusiaan lebih tinggi. Semakin tinggi kemampuan untuk mendayagunakan akal pikiran ini maka yang bersangkutan akan semakin berpotensi untuk mendapatkan keutamaan di sisi Allah Swt, sebagaimana firmannya: إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (Q.S. Fathir/35:24). Mujahadah Mujahadah ialah perjuangan dengan mengerahkan energi spiritual. Kalau para mujahid mengandalkan ototnya dan para mujtahid mengandalkan otaknya, maka yang diandalkan di dalam mujahadah ini ialah kekuatan batin, yakni kemampuan untuk melakukan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Doa sang kekasih Tuhan (muqarrabin) berpotensi melahirkan keajaiban yang boleh jadi sulit dicapai oleh mujahidin dan mujtahidin. Mujahadah merupakan kelengkapan dari jihad dan ijtihad. Seseorang bisa mengimplementasikan secara terpadu jihad, ijtihad, dan mujahadah di dalam dirinya. Bahkan orang-orang seperti inilah yang berpotensi menjadi manusia paripurna, seperti dikatakan oleh Al-Jilli. Insan Kamil ialah manusia yang sudah sampai kepada puncak perjuangan. Insan Kamil ini merupakan dambaan setiap orang. Ciri-ciri insan kamil ialah orang-orang yang secara horizontal berhasil menjadi khalifah dan secara vertikal berhasil juga menjadi hamba (’abid). Orang ini telah berhasil menjalin relasi yang sangat harmonis, bukan hanya dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia dan sesama makhluk lainnya, tidak terkecuali benda-benda alam. Untuk sampai ke tingkat ini memang memerlukan tahapan kesungguhan dari olah fisik, olah nalar, sampai kepada olah batin. Kelompok inilah yang mendapatkan keistimewaan khusus dari Allah Swt sebagaimana dalam firmannya: وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-’Ankabut/29:69).