03/08/09
Modernisasi Pesantren, Antara Tuntutan dan Ancaman
08/04/09
Pemimpin Berkarakter Thalut
Melalui Qs. al-Baqarah [2]: 247, Allah SWT menceritakan penolakan Bani Israil atas penunjukan Thalut sebagai pemimpin, karena ia dinilai berasal dari keluarga miskin dan bukan darah biru. Cara pandang umat saat itu (dan bahkan saat ini), masih melihat seseorang dari aspek “harta” dan “keturunan”nya. Keduanya acapkali dianggap penentu sukses kepemimpinan seseorang, dan karenanya lebih dipentingkan dari karakter kepemimpinan itu sendiri. Siapa sesungguhnya Thalut, yang hidup setelah zaman Nabi Musa AS? Menurut ‘Abd al-Razzâq al-Qasyânî, Thalut adalah rajulan faqiran la nasaba lahu wa la mala (lelaki miskin, bukan keturunan darah biru dan tak berharta). (Tafsir Ibn ‘Araby, 2001, jilid I, h. 81). Dalam Tafsir al-Thabari, Ibn Jarir al-Thabari menukil riwayat dari Ikrimah menyatakan, Thalut adalah penjual air – profesi yang dianggap mewakili strata kelas bawah. Menurut al-Thabari, berdasarkan riwayat Qatadah, Thalut adalah keturunan Bunyamin, kelompok yang tidak memiliki darah kenabian dan kerajaan. Dalam tradisi Bani Israil, seorang pemimpin harus muncul dari latar belakang keturunan nabi dan raja (sabt nubuwwah wa sabt mamlakah). Itu sebabnya, ketika dua syarat ini tak terpenuhi, mereka lantas menolaknya. Dan Thalut, ditakdirkan bukan dari kelompok ini. Bani Israel pun ramai-ramai menolaknya. Mereka heran, kenapa orang “tak berharga” seperti Thalut justru dikirim sebagai pemimpin mereka. Sesungguhnya, di balik “kekurangan”nya itu, Allah SWT memberi Thalut kelebihan berupa keunggulan intelektual dan tubuh yang perkasa (basthah fi al-‘ilm wa al-jism). (Qs. al-Baqarah [2]: 247). Diceritakan al-Thabari misalnya, Thalut mendapat karunia wahyu dari Allah SWT dan memiliki ukuran tubuh tinggi-besar, ukuran yang tidak pernah dimiliki orang pada masa itu. Inilah kelebihan Thalut; berwawasan luas sebagai prasyarakat manajerial kepemimpinannya dan berfisik tangguh sebagai prasyarat keperwiraannya sekaligus simbol keberanian dan ketegasannya. Dalam kokteks Thalut, ketangguhan fisik ini tak lain untuk mengalahkan Raja Jalut yang tiran dan represif pada rakyatnya. Untuk itu, ‘Abd al-Razzâq al-Qasyânî menyatakan, seharusnya yang ditekankan bagi calon pemimpin adalah al-ruhaniyyah atau aspek spiritual berupa al-‘ilm (pengetahuan) dan al-badaniyyah atau aspek fisik berupa keperkasaan dan ketangguhan (ziyadah al-qawi, syiddah al-binyah/fithrah, dan al-basthah). Hal inilah yang tampaknya diabaikan Bani Israil. Mereka hanya menekankan aspek material dan mengabaikan aspek spiritual (yang justeru) sebagai ruh seorang pemimpin. Karena pentingnya substansi kepemimpinan ini, tak heran jika suatu ketika seorang budak bernama Ibnu Abzi diberi amanat menggantikan sementara posisi Gubernur Makkah pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab. Gubernur yang definitif, Nafi’ bin Harist al-Khuza’i, kala itu tengah keluar kota. Kenapa budak yang dipilih oleh Umar? Alasannya karena ia menguasai al-Qur’an dan Ilmu Faraidh. Penguasaan kedua hal ini melayakkannya dipilih sebagai pemimpin. Sama sekali Umar tak melirik latar belakang “harta” dan “keturunan”nya. Dari peristiwa di atas, banyak hal yang dapat kita jadikan pelajaran terkait prosesi pilih-memilih dan angkat-mengangkat pemimpin. Pertama, sudah menjadi “tradisi” kita menggugat atau menyoal latar belakang calon pemimpin. Baik latar belakang “harta” atau “keturunan”. Tradisi ini telah berlangsung sepanjang masa. Malah sekarang ada tambahan “tradisi baru”, yaitu menggugat ijazah/latar belakang formal pendidikannya. Yang sarjana “diyakini” lebih baik dan jaminan kesuksesan dibanding yang non-sarjana. Gugatan ini biasanya dilakukan kelompok tertentu yang tidak setuju. Lagi-lagi yang dituntut bukan yang substansi, melainkan yang sampingan. Kedua, point pokok kepemimpinan adalah basthah fi al-‘ilm wa al-jism. Tipe inilah yang berprinsip tasharruf al-imam ‘ala al-raiyyah manutun bi al-mashlahah (kebijakannya berorientasi untuk kemaslahatan umat). Tipe ini tak pandang agama dan latar belakang lainnya. Karenanya, Taqiyuddin bin Taimiyyah konon berpendapat, pemimpin/penguasa muslim yang zalim akan hancur, namun penguasa kafir yang adil akan langgeng. Titik tekannya “keadilan” bukan yang lainnya. Ketiga, yang tak kalah penting, kepemimpinan itu tergantung izin Allah SWT. Hanya Allah SWT lah yang bisa mengangkat dan menurunkan seseorang dari posisi pemimpin. Thalut yang ditentang habis oleh umatnya, bisa jadi pemimpin atas kehendak-Nya. Kenyataan ini sekaligus untuk mengingatkan para pemimpin, bahwa kepemimpinannya tak datang dengan sendirinya. Sebab itu, kepemimpinannya harus disadari akan dimintai-Nya pertanggungjawaban, sehingga perilaku yang tidak diridhai-Nya akan dijauhi. Keempat, berkat iman yang kokoh, komitmen, dedikasi yang tinggi, praktik hidup yang lurus, disiplin serta diiringi keridhaan Allah SWT, kelompok kecil yang dipimpin Thalut sanggup menggulingkan kelompok Jalut yang besar lagi tiran dan represif terhadap rakyat. Karenanya, tak boleh ada kesombongan pemimpin, bahwa dirinyalah yang besar dan kuat sehingga berhak sewenang-wenang pada rakyatnya. Jika bibit kesombongan ini telah muncul, maka tunggulah kehancurannya. Itulah beberapa pelajaran penting terkait terpilihnya si penjual air Thalut sebagai pemimpin. Semoga kita tidak seperti Bani Israil yang gemar menggugat calon pemimpin hanya karena tidak sesuai “selera” kita. Semoga kita mendapatkan pemimpin yang berkarakter; unggul di bidang intelektual, manajerial dan tangguh. Detik demi detiknya untuk melayani umat beroleh keadilan dan kesejahteraan. Wa Allah a’lam.[]
29/03/09
HAKIKAT MAUT (Perenungan Musibah Danau Gintung)
Aku tidak melihat sesuatu yang haq lagi pasti terjadi tetapi di anggap batil tidak bakal terjadi, seperti halnya maut. Dan tidak juga melihat sesuatu yang batil dan pasti lenyap tetapi dianggap haq dan langgeng seperti halnya dunia.”
(Sayyidina Ali kw).
Kematian seakan-akan hanya ditetapkan atas selain kita. Kita bagaikan tidak mendengar adanya generasi yang lalu, atau tidak melihat apa yang terjadi bagi generasi kini. Sesungguhnya masa yang dikerat oleh detik pastilah berakhir betapapun panjangnya.
Maut adalah pemutus segala kelezatan duniawi, dia adalah pemisah sahabat dan pengeruh kenyamanan hidup orang-orang yang lalai. Ia adalah keniscayaan. “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh,” begitu firman Allah dalam QS. an-Nisâ’ 4:78. Ia akan datang kepada kita, kendati kita berusaha lari menghindar darinya: Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. al-Jumu‘ah 62:8).
Maut adalah bayang-bayang yang muncul dalam benak manusia yang mengancam hidupnya, hidup kekasih, anak, dan sanak keluarganya.
Maut adalah sesuatu yang amat dikenal, ia terlihat dan terdengar sehari-hari bahkan ditayangkan setiap saat. Namun sosoknya, serta apa yang dilihat oleh yang mati bahkan kehadirannya, adalah rahasia yang tidak dapat terungkap kecuali bagi hamba-hamba pilihan Allah. “Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Luqmân [31]: 34).
Andaikata Anda dapat melihat apa yang dilihat oleh yang telah direnggut nyawanya oleh maut, pasti sikap dan keadaan Anda bukan seperti sekarang. Tapi yakinlah bahwa dalam waktu dekat – karena setiap yang akan datang pasti tak lama lagi – tabir maut akan dicabik-cabik sehingga Anda pun melihatnya. “Sebenarnya – kata Sayyidina Ali kw. – kepada Anda telah diperlihatkan kalau memang Anda mau melihat, kepada Anda telah diperdengarkan kalau memang Anda mau mendengar,… Anda pun telah diberi petunjuk, hanya Anda enggan memanfaatkan petunjuk itu.”
Benar kita lengah, karena “Sungguh seandainya kamu mengetahui dengan ‘ilmul yaqîn,” yakni pengetahuan yang mantap – pasti kamu berhenti lengah atau bersaing secara tidak sehat. Demi Allah jika kamu demikian itu, pasti kamu akan melihat neraka jahim dengan mata hatimu, lalu di hari Kemudian kamu akan melihatnya dengan mata kepalamu (baca QS. at-Takâtsur 102:5-6).
Keyakinan tentang kematian yang meresap di lubuk hati yang terdalam, serta gambarannya yang tampil dari saat ke saat ke pelupuk mata, itulah salah satu jaminan kewaspadaan serta peningkatan amal-amal kebajikan tanpa pamrih. Itulah yang mendorong seseorang mempersiapkan bekal untuk hidup sesudah mati. Bahkan seperti tulis Will Durant: “Maut adalah sumber semua agama, boleh jadi kalau maut tak ada maka kepercayaan kepada Tuhan pun tidak akan ada.” Karena itu pula Rasul saw. menganjurkan untuk selalu mengingat maut dan menganjurkan untuk menziarahi pekuburan. Bukan untuk meminta, tetapi guna mengingatkan bahwa suatu ketika peziarah pun akan berada di tempat yang sama dan semoga diziarahi pula.
Suatu ketika ada seseorang melihat jenazah sedang diusung. Dia bertanya: “Siapa yang diusung ini?” Seorang bijaksana menjawab: “Dia adalah kita. Dia adalah saya dan Anda!” Memang suatu ketika, kita pun akan mengalaminya. Demikian wa Allâh a‘lam.