Biasakno..kulinakno..omongmu podho karo karepe atimu

03/08/09

Modernisasi Pesantren, Antara Tuntutan dan Ancaman

Pondok pesantren telah ada sejak ratusan tahun lalu, dan selama itu telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berahlakul karimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Lembaga yang asli made in Nusantara ini telah menjelma menjadi sebuah lembaga yang kokoh, mandiri, dan diakui oleh dunia. Dalam sejarah perjuangan umat Islam Indonesia, terutama pada masa perjuangan kemerdekaan, masyarakat pesantren, santri dan ulama merupakan salah satu ujung tombak pergerakan melawan penjajah. Dalam perang 10 Nopember 1945 di Surabaya, misalnya, kaum ulama mengeluarkan Resolusi Jihad yang disuarakan oleh KH Hasyim Asy’ari sehingga umat Islam bangkit melawan penjajah dengan perhitungan mati syahid. Di Aceh, kaum ulama yang sebagiannya juga tokoh tarekat mempelopori perang melawan penjajah pada masa dulu. Hikayat Prang Sabi merupakan syair yang digubah para ulama Aceh untuk mengobarkan semangat jihad dan mati syahid bagi rakyat Aceh dalam mengusir kaum kaphe (kafir) atau penjajah. Setelah ratusan tahun, pesantren kini dikucilkan. Akibat sedikit sekali media massa atau lembaga kemasyarakatan yang berusaha mengangkat sisi sesungguhnya dari dunia santri dan pesantren, santri dan dunia pesantren dipenuhi citra atau cap yang menakutkan. Masyarakat santri di pesantren dipandang oleh masyarakat umum nonpesantren dalam dua pemahaman yang merugikan. Pertama, masyarakat santri di pesantren dipahami sebagai kelompok yang semata-mata berlajar agama dan kitab-kitab Islam tanpa peduli pada masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat umum. Kedua, dunia santri dan pesantren dicitrakan sebagai dunia yang tertutup atau eksklusif sehingga dekat dengan keterbelakangan, kekumuhan, dan kebodohan atas perkembangan dunia modern. Masyarakat memandang zaman telah berkembang menuju era globalisasi. mereka menuntut pesantren sebagai institusi pendidikan untuk melakukan akselerasi dan transformasi yang cukup signifikan. Jika dahulu ruang lingkup output terbatas pada dimensi keagamaan saja, maka saat ini lulusan pesantren diharapkan dapat banyak berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dilatarbelakangi hal itu, klasifikasi pesantren menjadi berubah. Dulu, mungkin kita hanya mengenal satu buah pesantren, pesantren dengan sistem salaf. Pesantren yang mempunyai manajemen dan administrasi pesantren sangat sederhana, dengan sistem pengelolaan pesantren berpusat pada aturan kiai yang diterjemahkan oleh pengurus pesantren. Tercatat sekitar 8.905 pesantren salaf ada di Indonesia. Itu dulu. Kini ada pesantren khalaf (modern), seperti pesantren Hayatan Thayyibah (Sukabumi), Darul-Ulum (Bogor), Husnul-Khotimah (Kuningan, Jawa Barat), Darunnajah dan Darurrahman (Jakarta), Darussalam Gontor (Ponorogo, Jawa Timur), al-Mu’min (Ngruki), as-Salam, al-Zaitun (Solo, Jawa Tengah), Pesantren Thawalib-Padang Panjang (Sumatera Barat), dan lain-lain. Pesantren khalaf bercirikan, 1) memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern; 2) tidak terikat atau tersentral pada figur kiai; 3) memiliki pola dan sistem pendidikan modern dengan perpaduan kurikulum antara mata pelajaran berbasis ilmu agama dan mata pelajaran berbasis pengetahuan umum. Di Indonesia, pesantren jenis khalaf ini tidak banyak. Jumlahnya sekitar 878 pesantren. Lalu ada juga pesantren terpadu. Pesantren yang ini bertipe semi salaf sekaligus semi khalaf, seperti pesantren Tebuireng-Jombang (Jawa Timur) dan Mathali'ul Falah-Kajen (Jawa Tengah). Pesantren terpadu ini bercirikan nilai-nilai tradisional yang masih kental sebab kiai masih dijadikan figur sentral. Norma dan kode etik pesantren klasik masih menjadi standar pola relasi dan etiket keseharian santri dalam pesantren. Namun, pesantren terpadu ini telah mengadaptasi sistem pendidikan modern sebagai bentuk respon atau penyesuaian terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan nonpesantren. Di Indonesia, jumlah pesantren tipe ini sekitar 4.284 buah. Pesantren khalaf mengubah kurikulum tradisional dan beranjak pada suatu rumusan yang berbasis pada kebutuhan kontemporer. Sederhananya, para santri mereka kini tidak hanya diajari kitab kuning dan bahasa arab saja, melainkan diberikan juga bekal bahasa inggris, ilmu komputer, dan keterampilan pelengkap lainnya. Adapun konsep kurikulum yang ditawarkan pesantren modern ini lebih mengarah pada keterpaduan antara aspek kognitif (proses mengetahui yang serba ragam persepsi, mengingat, membayangkan, memperhatikan, menimbang dan berlogika), afektif (suasana hati, emosi) dan normatif (memegang teguh pada perilaku yang pantas) yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Perpaduan semacam itulah yang sekarang diminati oleh sebagian masyarakat. Mereka tidak lagi setuju pada konsep kurikulum yang hanya berorientasi pada penjernihan suasana hati dan penjagaan norma kemasyarakatan. Padahal, dalam perkembangannya terjadi perubahan signifikan pada proses modernisasi pesantren ini. Terjadi kesenjangan –ketidakseimbangan- paradigma, kerangka berpikir, antara aliran tradisional dan modern yang terkadang melahirkan konflik khilafiyah yang kontraproduktif. Aliran modernis menuntut persinggungan yang intens dengan teknologi dan perkembangan informasi sehingga pesantren ini mengharapkan lahirnya pribadi yang moderat, pribadi berhaluan tengah dan open minded. Sementara aliran kitab kuning –dinisbatkan pada aliran tradisional– menuntut santrinya untuk tetap berkutat pada matan hadis maupun ilmu fiqih klasik serta mempertahankan keaslian dalil-dalil yang ada. Sehingga –menurut sebagian masyarakat- karakter yang terbina dari pesantren salaf cenderung konservatif, kolot, bersikap serta berusaha mempertahankan keadaan, tradisi, kebiasaaan dan berkarakter ekstrim. Pandangan semacam itu, mungkin mereka peroleh akibat banyaknya kasus teror (bom) dan kekerasan yang melibatkan sebagian kecil santri Indonesia, ataupun juga karena pengaruh penilaian para pemikir asing yang mengatakan pesantren di Indonesia hanya tempat perkaderan muslim fundamental. Intelektual Barat memahami madrasah di beberapa negara Asia Selatan dan Asia Barat sama dengan madrasah-madrasah Timur tengah. Padahal seperti yang kita ketahui, di Indonesia sebuah madrasah berbeda dengan pesantren. Sedang masalah keterlibatan beberapa santri Indonesia dalam kasus teror (bom) dan kekerasan belakangan ini, disinyalir karena "ideologi" impor, bukan produk asli pesantren Indonesia yang cenderung kultural. Dalam prosesnya, hal ini mengakibatkan suatu efek pendulum yang melahirkan ekstrem baru, yakni paradigma liberalis kebarat-baratan. Ekstrem antikonservatif –golongan santri tradisional yang bertransformasi menjadi liberalis kebarat-baratan– ini telah muak berada pada kejumudan yang dirasakanya selama mondok atau belajar di pondok pesantren. Sehingga ketika ia melihat suatu ideologi kebebasan di luar lingkungannya, terjadi euforia yang berdampak pada ‘banting setir’ paradigma. Faktor terlahirnya ekstrim baru ini adalah proses modernisasi santri tanpa disertai bekal ruhiyah yang kuat dan mendalam. Sehingga para santri menjadi terlalu permisif -memperbolehkan- terhadap ideologi lain dan dengan mudahnya mengesampingkan ideologi Islam yang selama ini ia pahami. Fenomena inilah yang ditakutkan oleh pesantren salaf, ketika dia harus berubah mengikuti tuntutan masyarakat. Betapa banyak kalangan santri yang berubah jadi nyeleneh setelah mengenal ideologi-ideologi yang berkembang di belahan dunia Barat. Beberapa santri yang sudah lulus pesantren kemudian dibiayai kuliahnya ke luar negeri untuk mempelajari teologi Islam, malah balik menentang ideologi yang bertahun-tahun mereka dapati di pondok dulu. Paradigma moderat dan open minded yang diharapkan dari seorang santri modern bagai api jauh dari panggang. Sepak terjang mereka kini malah jauh lebih kontraproduktif bahkan menyesatkan bagi muslim-muslim abangan. Amanat orisinalitas ideologi Islam yang dulu mereka emban bertransformasi menjadi sinkrotisme yang menyesatkan. Kondisi memprihatinkan inilah yang tengah dihadapi belantara Islam. Di satu sisi masyarakat menginginkan perubahan dalam diri pesantren. Namun ketika sebagian pesantren berubah, banyak yang tidak setuju bahkan kecewa dengan outputnya, mondok bukannya jadi bener malah klenger. Maka bagaimana ia dapat berkontribusi positif bagi agamanya, ketika realitanya ia berbalik menentang ideologi ini. Kalau kita telisik, faktor utama penyebab efek pendulum ini adalah penanaman bekal ruhiyah yang kurang mendalam. Pesantren masa kini tampaknya secara mendasar berupaya memberikan pembekalan keterampilan atau spesifikasi pada para santrinya yang akan terjun ke masyarakat. Di beberapa pesantren, berbagai bidang keahlian dapat dipilih oleh para santri sesuai minatnya, seperti pendidikan guru, pertanian, perikanan, kerajinan, dan lain-lain. Hal ini dapat dianggap sebagai negosiasi pesantren terhadap nilai-nilai baru yang berkembang dalam masyarakat akibat kemajuan ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Padahal, dengan teknologi pula perubahan menjadi nyleneh akibat mengenal ideologi-ideologi di belahan dunia Barat dapat terjadi. Taruhlah internet. Banyak pesantren modern mengesampingkan aspek ruhiyah, lembaga ini seakan lupa tujuan pertama sebuah pembelajaran, taqarrub ilallah. Maka menjadi suatu pengalaman berharga bagi para pengasuh pesantren modern, bila tidak ingin santri-santrinya hanya memahami ajaran Islam kulitnya saja, untuk lebih memperhatikan masalah ini. Menurut Muhammad Ali, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, “Menghadapi era Teknologi Informasi (TI) seperti sekarang ini, santri harus menguasai teknologi. Santri tidak boleh gagap teknologi. Pasalnya, bila tertinggal dalam penguasaan teknologi, akan ditinggal juga,” ketika ia memberikan sambutan pada peserta Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) di Pondok Pesantren Al Hikmah 2, Benda, Kecamatan Sirampog, Brebes, Jawa Tegah, Kamis (11/12/08) lalu. Memang, sepintas apa yang ia katakan dapat dibenarkan. Namun internet tetaplah sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, internet berbahaya kalau disalahgunakan, misalnya menyangkut masalah pornografi. Namun di sisi lain, bila dipergunakan dengan baik, internet juga menawarkan peluang dan memberikan manfaat yang sangat banyak, termasuk dalam bidang dakwah. Menjadi generasi nyleneh, mungkin itulah bahaya terbesar yang dijauhi pesantren salaf. Dengan masuknya internet, berarti meresap pula ke dalamnya segala jenis pemikiran, yang ditakutkan tentunya dapat melahirkan generasi yang tidak diharapkan. Melihat tuntutan masyarakat dan faktor utama kegagalan pesantren khalaf, akibat mengesampingkan faktor ruhiyah, mestinya kekurangan ini menjadi modal yang sangat berharga bagi pesantren salaf, pesantren yang tidak mau dan tidak akan mengesampingkan faktor ruhiyah, yang emoh dengan perkembangan, untuk kembali merajut kejayaannya. Biar bagaimanapun teknologi semakin tidak bisa dipisahkan dari seseharian kita. Kegagalan memanfaatkan sebuah teknologi yang dialami oleh sebagian penikmat kemajuan, sudah waktunya tidak membuat pesantren ketakutan. Yang terpenting, bagaimana pesantren mampu untuk mempertahankan kesalafan tanpa harus terbendung segala kemajuan. Mampukah?

08/04/09

Pemimpin Berkarakter Thalut

Melalui Qs. al-Baqarah [2]: 247, Allah SWT menceritakan penolakan Bani Israil atas penunjukan Thalut sebagai pemimpin, karena ia dinilai berasal dari keluarga miskin dan bukan darah biru. Cara pandang umat saat itu (dan bahkan saat ini), masih melihat seseorang dari aspek “harta” dan “keturunan”nya. Keduanya acapkali dianggap penentu sukses kepemimpinan seseorang, dan karenanya lebih dipentingkan dari karakter kepemimpinan itu sendiri. Siapa sesungguhnya Thalut, yang hidup setelah zaman Nabi Musa AS? Menurut ‘Abd al-Razzâq al-Qasyânî, Thalut adalah rajulan faqiran la nasaba lahu wa la mala (lelaki miskin, bukan keturunan darah biru dan tak berharta). (Tafsir Ibn ‘Araby, 2001, jilid I, h. 81). Dalam Tafsir al-Thabari, Ibn Jarir al-Thabari menukil riwayat dari Ikrimah menyatakan, Thalut adalah penjual air – profesi yang dianggap mewakili strata kelas bawah. Menurut al-Thabari, berdasarkan riwayat Qatadah, Thalut adalah keturunan Bunyamin, kelompok yang tidak memiliki darah kenabian dan kerajaan. Dalam tradisi Bani Israil, seorang pemimpin harus muncul dari latar belakang keturunan nabi dan raja (sabt nubuwwah wa sabt mamlakah). Itu sebabnya, ketika dua syarat ini tak terpenuhi, mereka lantas menolaknya. Dan Thalut, ditakdirkan bukan dari kelompok ini. Bani Israel pun ramai-ramai menolaknya. Mereka heran, kenapa orang “tak berharga” seperti Thalut justru dikirim sebagai pemimpin mereka. Sesungguhnya, di balik “kekurangan”nya itu, Allah SWT memberi Thalut kelebihan berupa keunggulan intelektual dan tubuh yang perkasa (basthah fi al-‘ilm wa al-jism). (Qs. al-Baqarah [2]: 247). Diceritakan al-Thabari misalnya, Thalut mendapat karunia wahyu dari Allah SWT dan memiliki ukuran tubuh tinggi-besar, ukuran yang tidak pernah dimiliki orang pada masa itu. Inilah kelebihan Thalut; berwawasan luas sebagai prasyarakat manajerial kepemimpinannya dan berfisik tangguh sebagai prasyarat keperwiraannya sekaligus simbol keberanian dan ketegasannya. Dalam kokteks Thalut, ketangguhan fisik ini tak lain untuk mengalahkan Raja Jalut yang tiran dan represif pada rakyatnya. Untuk itu, ‘Abd al-Razzâq al-Qasyânî menyatakan, seharusnya yang ditekankan bagi calon pemimpin adalah al-ruhaniyyah atau aspek spiritual berupa al-‘ilm (pengetahuan) dan al-badaniyyah atau aspek fisik berupa keperkasaan dan ketangguhan (ziyadah al-qawi, syiddah al-binyah/fithrah, dan al-basthah). Hal inilah yang tampaknya diabaikan Bani Israil. Mereka hanya menekankan aspek material dan mengabaikan aspek spiritual (yang justeru) sebagai ruh seorang pemimpin. Karena pentingnya substansi kepemimpinan ini, tak heran jika suatu ketika seorang budak bernama Ibnu Abzi diberi amanat menggantikan sementara posisi Gubernur Makkah pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab. Gubernur yang definitif, Nafi’ bin Harist al-Khuza’i, kala itu tengah keluar kota. Kenapa budak yang dipilih oleh Umar? Alasannya karena ia menguasai al-Qur’an dan Ilmu Faraidh. Penguasaan kedua hal ini melayakkannya dipilih sebagai pemimpin. Sama sekali Umar tak melirik latar belakang “harta” dan “keturunan”nya. Dari peristiwa di atas, banyak hal yang dapat kita jadikan pelajaran terkait prosesi pilih-memilih dan angkat-mengangkat pemimpin. Pertama, sudah menjadi “tradisi” kita menggugat atau menyoal latar belakang calon pemimpin. Baik latar belakang “harta” atau “keturunan”. Tradisi ini telah berlangsung sepanjang masa. Malah sekarang ada tambahan “tradisi baru”, yaitu menggugat ijazah/latar belakang formal pendidikannya. Yang sarjana “diyakini” lebih baik dan jaminan kesuksesan dibanding yang non-sarjana. Gugatan ini biasanya dilakukan kelompok tertentu yang tidak setuju. Lagi-lagi yang dituntut bukan yang substansi, melainkan yang sampingan. Kedua, point pokok kepemimpinan adalah basthah fi al-‘ilm wa al-jism. Tipe inilah yang berprinsip tasharruf al-imam ‘ala al-raiyyah manutun bi al-mashlahah (kebijakannya berorientasi untuk kemaslahatan umat). Tipe ini tak pandang agama dan latar belakang lainnya. Karenanya, Taqiyuddin bin Taimiyyah konon berpendapat, pemimpin/penguasa muslim yang zalim akan hancur, namun penguasa kafir yang adil akan langgeng. Titik tekannya “keadilan” bukan yang lainnya. Ketiga, yang tak kalah penting, kepemimpinan itu tergantung izin Allah SWT. Hanya Allah SWT lah yang bisa mengangkat dan menurunkan seseorang dari posisi pemimpin. Thalut yang ditentang habis oleh umatnya, bisa jadi pemimpin atas kehendak-Nya. Kenyataan ini sekaligus untuk mengingatkan para pemimpin, bahwa kepemimpinannya tak datang dengan sendirinya. Sebab itu, kepemimpinannya harus disadari akan dimintai-Nya pertanggungjawaban, sehingga perilaku yang tidak diridhai-Nya akan dijauhi. Keempat, berkat iman yang kokoh, komitmen, dedikasi yang tinggi, praktik hidup yang lurus, disiplin serta diiringi keridhaan Allah SWT, kelompok kecil yang dipimpin Thalut sanggup menggulingkan kelompok Jalut yang besar lagi tiran dan represif terhadap rakyat. Karenanya, tak boleh ada kesombongan pemimpin, bahwa dirinyalah yang besar dan kuat sehingga berhak sewenang-wenang pada rakyatnya. Jika bibit kesombongan ini telah muncul, maka tunggulah kehancurannya. Itulah beberapa pelajaran penting terkait terpilihnya si penjual air Thalut sebagai pemimpin. Semoga kita tidak seperti Bani Israil yang gemar menggugat calon pemimpin hanya karena tidak sesuai “selera” kita. Semoga kita mendapatkan pemimpin yang berkarakter; unggul di bidang intelektual, manajerial dan tangguh. Detik demi detiknya untuk melayani umat beroleh keadilan dan kesejahteraan. Wa Allah a’lam.[]

29/03/09

HAKIKAT MAUT (Perenungan Musibah Danau Gintung)

Maut adalah sesuatu yang amat dikenal, ia terlihat dan terdengar sehari-hari bahkan ditayangkan setiap saat. Namun sosoknya, serta apa yang dilihat oleh yang mati bahkan kehadirannya, adalah rahasia yang tidak dapat terungkap kecuali bagi hamba-hamba pilihan Allah.

Aku tidak melihat sesuatu yang haq lagi pasti terjadi tetapi di anggap batil tidak bakal terjadi, seperti halnya maut. Dan tidak juga melihat sesuatu yang batil dan pasti lenyap tetapi dianggap haq dan langgeng seperti halnya dunia.

(Sayyidina Ali kw).

Kematian seakan-akan hanya ditetapkan atas selain kita. Kita bagaikan tidak mendengar adanya generasi yang lalu, atau tidak melihat apa yang terjadi bagi generasi kini. Sesungguhnya masa yang dikerat oleh detik pastilah berakhir betapapun panjangnya.

Maut adalah pemutus segala kelezatan duniawi, dia adalah pemisah sahabat dan pengeruh kenyamanan hidup orang-orang yang lalai. Ia adalah keniscayaan. “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh,” begitu firman Allah dalam QS. an-Nisâ’ 4:78. Ia akan datang kepada kita, kendati kita berusaha lari menghindar darinya: Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. al-Jumu‘ah 62:8).

Maut adalah bayang-bayang yang muncul dalam benak manusia yang mengancam hidupnya, hidup kekasih, anak, dan sanak keluarganya.

Maut adalah sesuatu yang amat dikenal, ia terlihat dan terdengar sehari-hari bahkan ditayangkan setiap saat. Namun sosoknya, serta apa yang dilihat oleh yang mati bahkan kehadirannya, adalah rahasia yang tidak dapat terungkap kecuali bagi hamba-hamba pilihan Allah. “Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Luqmân [31]: 34).

Andaikata Anda dapat melihat apa yang dilihat oleh yang telah direnggut nyawanya oleh maut, pasti sikap dan keadaan Anda bukan seperti sekarang. Tapi yakinlah bahwa dalam waktu dekat – karena setiap yang akan datang pasti tak lama lagi – tabir maut akan dicabik-cabik sehingga Anda pun melihatnya. “Sebenarnya – kata Sayyidina Ali kw. – kepada Anda telah diperlihatkan kalau memang Anda mau melihat, kepada Anda telah diperdengarkan kalau memang Anda mau mendengar,… Anda pun telah diberi petunjuk, hanya Anda enggan memanfaatkan petunjuk itu.”

Benar kita lengah, karena “Sungguh seandainya kamu mengetahui dengan ‘ilmul yaqîn,” yakni pengetahuan yang mantap – pasti kamu berhenti lengah atau bersaing secara tidak sehat. Demi Allah jika kamu demikian itu, pasti kamu akan melihat neraka jahim dengan mata hatimu, lalu di hari Kemudian kamu akan melihatnya dengan mata kepalamu (baca QS. at-Takâtsur 102:5-6).

Keyakinan tentang kematian yang meresap di lubuk hati yang terdalam, serta gambarannya yang tampil dari saat ke saat ke pelupuk mata, itulah salah satu jaminan kewaspadaan serta peningkatan amal-amal kebajikan tanpa pamrih. Itulah yang mendorong seseorang mempersiapkan bekal untuk hidup sesudah mati. Bahkan seperti tulis Will Durant: “Maut adalah sumber semua agama, boleh jadi kalau maut tak ada maka kepercayaan kepada Tuhan pun tidak akan ada.” Karena itu pula Rasul saw. menganjurkan untuk selalu mengingat maut dan menganjurkan untuk menziarahi pekuburan. Bukan untuk meminta, tetapi guna mengingatkan bahwa suatu ketika peziarah pun akan berada di tempat yang sama dan semoga diziarahi pula.

Suatu ketika ada seseorang melihat jenazah sedang diusung. Dia bertanya: “Siapa yang diusung ini?” Seorang bijaksana menjawab: “Dia adalah kita. Dia adalah saya dan Anda!” Memang suatu ketika, kita pun akan mengalaminya. Demikian wa Allâh a‘lam.

19/03/09

Antara Pengamen Dan Caleg

Ya Nabi salam �alaikaYa Rasul salam �alaikaYa Habib salam �alaikaShalawatullah �alaika
Shalawat Nabi, yang tak asing di telinga kaum muslim, itu saya dengar dari bibir seorang pengamen, di Bus AC 76 Ciputat-Senin pada hari Rabu 18/03/'09 ketika saya akan mengikuti acara di YPM BRI Pusat di jln. Sudirman. Pengamen bertopi haji putih dan berambut gondrong itu, mendendangkannya dengan suara pas-pasan plus tajwid yang berantakan. Sepintas, semuanya terlihat biasa-biasa saja. Layaknya pengamen lain, tak tampak sedikitpun tanda-tanda keistimewaan. Tapi jika diperhatikan lebih jauh, apa yang dilakoninya, itu berbeda dengan para pengamen pada umumnya (biasanya mereka lebih suka menyebut diri musisi atau seniman jalanan). Jika umumnya mereka lebih senang menjual lagu-lagu band terkenal, semisal Ungu, Peterpan, Dewa 19, Samson, Nidji, Ada Band, Radja, Ratu, atau sejenisnya, ia justru menawarkan Shalawat Nabi. Dan, jika biasanya simbol agama ini muncul hanya pada bulan Ramadhan, kali ini muncul pada hari biasa. Lalu, apanya yang istimewa? Dengan menyuguhkan simbol agama, dalam konteks ini Shalawat Nabi, ia sebetulnya sedang menebar jaring untuk menangkap simpati penumpang yang kebanyakan kaum muslim. Kemampuan merebut simpati, berarti keuntungan melimpah, tentu secara materi. Dan terbukti, banyak penumpang simpati. Yang awalnya berat, jadi ringan memberi. Yang awalnya berniat memberi Rp. 500, jadi Rp. 1000. Begitu seterusnya. Ini tak lain karena ada simbol suci agama Islam yang disentuh melalui shalawat itu: yaitu Nabi Muhammad Saw. Tentu saja, tak ada larangan mendendangkan syi�ir keagamaan, apalagi Shalawat Nabi. Itu hak asasi. Tapi alangkah indahnya, jika itu dikidungkan di luar wilayah publik. Siapa tahu ada penumpang non-muslim yang tidak nyaman mendengar kidung keagamaan itu, sehingga bisa memantik munculnya fitnah yang akan merusak citra kaum muslim dan Islam itu sendiri. Lebih-lebih, jika syiir keagamaan itu didendangkan (hanya) untuk mencari keuntungan pribadi berupa materi. Ini akan dinilai sebagai �menjual� simbol keagamaan untuk kepentingan duniawi.Di sinilah letak titik temu pengamen ini dengan sebagian (besar) Caleg muslim di negeri ini. Untuk mendapat keuntungan pribadi, keluarga atau kelompok, para Caleg yang pintar-pintar itu tak rikuh �menjual� agama. Di hadapan konstituen misalnya, mereka �mengamen� melalui isu penegakan Syariah Islam (SI), penerapan perda-perda SI, dan sebagainya. Simpati kaum muslim diharapkan diberikan kepada mereka, lantaran isu agama ini. Inilah yang disebut cendekiawan muslim asal Mesir, Muhammad Said al-Asymawi, sebagai gerakan Islam politik (al-islam al-siyasi). Penulis buku al-Islam al-Siyasi ini lantas menyatakan, arada Allah lil al-Islam an yakun dinan, wa arada bih al-nas an yakuna siyasah (Allah Swt sejatinya menginginkan Islam [hanya] sebagai agama. Tapi manusia menginginkan Islam [juga] sebagai sistem politik.� Dan, katanya, Islam politik itu bukan Islam yang sebenarnya, melainkan Islam yang dipolitisasi. Ini sama halnya mengebiri atau mengerdilkan kebesaran Islam itu sendiri. Inilah bahayanya, jika sebagian (besar) politisi muslim kita meletakkan simbol-simbol Islam hanya sebagai barang dagangan, yang selalu bernuansa formalistik bukan substantif. Lihat saja misalnya. Karena sebagian (besar) politisi di negeri ini berorientasi pada keuntungan pribadi, mereka acuh saja, atau pura-pura tidak tahu, disahkannya PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan Anggota Dewan. PP yang disahkan pada 14 November 2006 dan nyata-nyata menciptakan kondisi surga bagi wong elit dan neraka bagi wong alit, ini nyaris tak ada anggota dewan yang mempermasalahkannya. Ini, tak lain, karena PP ini menaikkan gaji berkali lipat bagi pimpinan dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh penjuru negeri ini, per awal 2007. Ini berarti keuntungan.Inilah kenyataan yang bertolak belakang dengan kondisi masyarakat kita yang tengah diselimuti duka lara: hilangnya Adam Air,jatuhnya pesawat Lion Air, tenggelamnya KM Senopati, banjir, gempa, tanah longsor, banjir lumpur, angka pengangguran yang terus meningkat dan banyak lagi. Ini sungguh ironis, karena semua yang mereka tawarkan, lagi-lagi ujungnya untuk kepentingan pribadi, termasuk dengan menjual agama yang dilakukan sebagian (besar) politisi kita. Akhirnya, agama layaknya lagu bagi pengamen; didendangkan untuk mendapat keuntungan. Makanya, betul pepeling (peringatan) yang disampaikan dalang wayang suket Ki Slamet Gundono. Para politisi kita seharusnya mengembangkan konsep politik rahmatan lil �alamin, bukan rahmatan untuk diri, keluarga, atau kelompoknya saja. Orientasi politik memang harus manuthun bi al-mashalah, berorientasi untuk kebaikan masyarakat secara umum. Inilah politikus muslim sesungghnya.Untuk itu, jika masih ada politisi muslim yang menjual agama untuk mencari keuntungan, mereka tak ubahnya pengamen yang diceritakan di awal tulisan ini. Keduanya sama-sama menawarkan simbol agama sebagai alat mengambil simpati audiens, yang tujuannya untuk kepentingan pribadi. Bedanya, pengamen hanya mendapat sesuap atau dua suap nasi (dan ini patut dimaklumi), sedang politisi mengeruk ribuan kali lipatnya (dan ini patut disayangkan). Tapi, bahwa politisi seperti ini sebetulnya pengamen dalam arti sesungguhnya, siapa yang membantah? Wa Allah a�lam.[]

11/03/09

Insan Kamil : Jihad, Ijtihad, dan Mujahadah

Kata Jihad, Ijtihad, dan Mujahadah membentuk tiga serangkai kata kunci yang dapat mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Ketiganya harus sinergi di dalam diri, tidak bisa hanya mengandalkan salah satu di antaranya, sebagaimana ditampilkan oleh Rasul sebagai teladan kita (ushwatun hasanah).Pendahuluan Kata jahada (bersungguh-sungguh) membentuk tiga kata kunci yang dapat mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Jihad berarti perjuangan lebih bersifat fisik. Dilakukan secara optimal untuk mencapai suatu tujuan mulia. Ijtihad berarti perjuangan secara intelektual yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan mujahadah adalah kelanjutan dari perjuangan bersifat otot dan otak, yaitu perjuangan batin atau rohani. Seseorang yang mendambakan kualitas hidup yang sejati atau paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah-satu di antara ketiga kualitas perjuangan tadi, tetapi ketiga-tiganya harus sinergi di dalam diri, sebagaimana ditampilkan oleh Rasul sebagai teladan kita (ushwatun hasanah) atau sering dilambangkan sebagai manusia paripurna (insan kamil). Rasulullah sangat terampil di dalam perjuangan fisik, terbukti dirinya sering terlibat sebagai panglima angkatan perang yang sangat disegani oleh kawan dan lawan. Beliau juga dikenal sebagai orang yang memiliki kempuan intelektual yang pikiran-pikirannya berhasil menyatukan bangsa Arab dan menghijrahkannnya dari pola pikir dan prilaku jahiliyyah ke pola pikir dan prilaku islamiyyah yang humanis dan madani. Jihad yang sesungguhnya adalah perpaduan antara ketiga konsep tersebut. Jika jihad terpisah dari unsur ijtihad dan mujahadah sesungguhnya tidak layak disebut jihad, mungkin lebih tepat disebut dengan nekat, dan korbannya tidak dapat disebut syuhada, bahkan mungkin hanya bisa disebut mati konyol. Allah Swt mengecam keras orang-orang yang mati konyol, yaitu orang-orang yang sengaja menceburkan diri ke dalam kebinasaan: وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Baqarah/2:195), Jihad Jihad yang dimaksudkan di sini ialah perjuangan yang dilakukan seseorang dengan mengandalkan unsur fisik atau otot, meskipun perjuangan non-fisik juga masuk kategori jihad di tempat lain. Jihad secara fisik tidak mesti harus diukur kemampuan seseorang untuk mengangkat senjata melawan musuh-musuh Islam, tetapi juga melakukan berbagai usaha secara fisik untuk terwujudnya keadilan, keamanan, keselamatan dan ketinggiian martabat manusia juga termasuk jihad. Bahkan menyingkirkan batu kerikil di jalanan yang dapat membahayakan orang lain termasuk cabang dari jihad, kata Rasulullah Saw. Medan jihad di sekitar kita semakin banyak, meskipun musuh-musuh dari kaum kafir secara fisik tidak tampak. Semua kondisi dan keadaan yang menindas dan mereduksi hak-hak asasi manusia dapat dijadikan sebagai medan jihad. Kebodohn, kemiskinan, rasa takut, kondisi kesehatan masyarakat yang rendah, berbagai penyakit yang mewabah, dan semacamnya, juga menjadi lahan jihad yang tak kalah mulianya dengan menghadapi musuk dari kaum kafir. Jihad yang dilakukan harus dengan niat luhur lalu dipadu dengan taktik, cara, dan strategi yang benar dan tepat. Jihad tidak boleh kontra-produktif. Jihad yang dilakukan Rasulullah selalu mendatangkan manfaat yang lebih besar dengan resiko yang sangat minim. Rasulullah memang pernah mengatakan, “suarakanlah kebenaran sekalipun pahit” (qul al-haq walau kana murran), tetapi tidak boleh karenanya menyebabkan kita menjadi korban, sebagaimana disebutkan ayat di atas. Jihad yang dilakukan tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangkan mudarat lebih besar daripada manfaat, sesungguhnya tidak tepat disebut jihad. Mungkin lebih tepat disebut perbuatan sia-sia, atau bahkan keonaran (al-fasad). Banyak contoh dalam Al-Qur’an dan dalam sejarah umat Islam, bahwa tidak sedikit orang yang mau berbuat baik tetapi tidak disertai perencanaan yang matang maka hasilnya kerugian. Jihad yang dipimpin Rasulullah selalu berhasil karena beliau tidak pernah mengnyampingkan perhitungan-perhitungan. Jihad demikian inilah yang dijanjikan dalam Al-Qur’an: كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Baqarah/2: 249). Unsur yang harus ada dalam jihad antara lain, adanya keterlibatan fisik di dalamnya, ada perhitungan dan perencanaan yang matang, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang, harus lebih banyak manfaat daripada mudaratnya menurut ukuran-ukuran universal tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah). Ukuran-ukuran subyektif di dalam menjalankan peran jihad amat riskan. Jihad yang berskala masif yang melibatkan banyak orang membutuhkan organisasi dan mmanajemen. Sebab jika tidak, maka jihad akan menjadi riskan dan penuh dengan resiko yang bisa merusak sesuatu yang sudah mapan dan produktif. Rasulullah sendiri berkali-kali melakukan taktk langka mundur, misalnya erpaksa melakukan hijrah demi untuk menyusun strategi selanjutnya. Jadi hijrah bukan tindakan pengecut yang meninggalkan jama’ah untuk menyelamatkan diri, tetapi yang demikian itulah yang harus dilakukan dalam upaya mencapai kemenangan. Unsur lain yang harus ada dalam jihad ialah motivasi kuat yang didorong oleh niat tulus hanya untuk Allah Swt. Tanpa niat dan motivasi ini jihad sulit mencapai tujuan yang diharapkan. Mungkin secara fisik berhasil, misalnya menaklukkan musuh, tetapi harus pula berhasil di sisih Tuhan yang diukur berdasarkan niat suci tadi. Dalam konteks individu, setiap orang harus melakukan jihad sesuai dengan kadar kemampuan dan menurut kekhususan yang Allah berikan kepadanya. Setiap orang pasti memiliki kekhususannya masing-masing dan kekhususan itu perlu disampaikan atau dibagikan kepada orang lain yang mungkin membutuhkannya. Ijtihad Ijtihad di sini diartikan perjuangan secara intelektual seseorang. Tidak semua orang dapat melakukan ijtihad. Unsur-unsur yang harus dipenuhi seseorang baru dapat disebut mujtahid tergantung dalam berbagai konteks. Dalam konteks fikih, seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab, ‘Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, muslim, dan praktisi muslim. Dalam konteks sosiologi Islam, seorang mujtahid difigurkan sebagai seorang yang mampu memberikan sumbangan intelektual dalam membela dan mengangkat derajat umat Islam dalam berbagai segi. Seorang ilmuan muslim yang ahlin dalam bidang ekonomi dapat menyumbangkan konsep-konsepnya dalam memberantas kemiskinan umat, seorang fisikawan muslim dapat menyumbangkan teknologi perang untuk kejayaan umat manusia, seorang ahli obat-obatan dapat menyumbangkan ramuan dan resep untuk kesehatan manusia, dan seorang dokter muslim dapat mengupayakan penyembuhan pasien dengan cara-cara islamami dan seterusnya. Ijtihad dan jihad masing-masing memiliki kekhususan. Kalau jihad perjuangan yang dilakukan lebih bersifat temporer, tergantung suasana dan intensitas tantangan, sedangkan perjuangan melalui ijtihad relatif lebih panjang, terutama jika diukur semenjak seseorang menuntut ilmu pengetahuan, maka profesinya kemudian diabdikan ke dalam masyarakat. Perjuangan melalui ijtihad lebih bersifat strategis dan berjangka panjang. Sementara perjuangan melalui jihad lebih berjangka pendek. Kesulitan yang dihadapi antara keduanya tergantung kondisi yang dihadapi. Boleh jadi tingkat kesulitan dan tantangan jihad lebih berat, terutama di waktu kekacauan dan peperangan. Akan tetapi perjuangan ijtihad dituntut lebih banyak di masa damai, terutama untuk memikirkan kualitas hidup umat yang lebih layak. Dari segi peralatan juga berbeda. Seorang mujahid mungkin lebih banyak membutuhkan alat-alat fisik, seperti persenjataan atau alat-alat bangunan, tetapi seorang mujtahid lebih banyak membutuhkan fasilitas dan institusi sebagai arena untuk melahirkan konsep-konsep kesejahteraan umat. Seorang mujahid tidak lebih baik daripada mujtahid. Nabi secara arif pernah mengatakan: “Goresan tinta pena para ulama lebih mulia daripada tetesan darah para syuhada”. Sebaliknya orang yang hanya memiliki kemampuan otot maka jihad baginya adalah perjuangan yang paling istimewa. Seseorang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk syurga, bahkan kalau terpaksa, “tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat di badannya, karena bagaimanapun yang bersangkutan akan langsung masuk syurga”, kata Rasulullah Saw. Dalam konteks individu, setiap orang dikaruniai akal pikiran. Dengan akal pikiran inilah yang akan membedakan manusia dengan binatang atau makhluk Tuhan lainnya. Akal pikiran yang akan mengorbitkan manusia ke martabat kemnusiaan lebih tinggi. Semakin tinggi kemampuan untuk mendayagunakan akal pikiran ini maka yang bersangkutan akan semakin berpotensi untuk mendapatkan keutamaan di sisi Allah Swt, sebagaimana firmannya: إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (Q.S. Fathir/35:24). Mujahadah Mujahadah ialah perjuangan dengan mengerahkan energi spiritual. Kalau para mujahid mengandalkan ototnya dan para mujtahid mengandalkan otaknya, maka yang diandalkan di dalam mujahadah ini ialah kekuatan batin, yakni kemampuan untuk melakukan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Doa sang kekasih Tuhan (muqarrabin) berpotensi melahirkan keajaiban yang boleh jadi sulit dicapai oleh mujahidin dan mujtahidin. Mujahadah merupakan kelengkapan dari jihad dan ijtihad. Seseorang bisa mengimplementasikan secara terpadu jihad, ijtihad, dan mujahadah di dalam dirinya. Bahkan orang-orang seperti inilah yang berpotensi menjadi manusia paripurna, seperti dikatakan oleh Al-Jilli. Insan Kamil ialah manusia yang sudah sampai kepada puncak perjuangan. Insan Kamil ini merupakan dambaan setiap orang. Ciri-ciri insan kamil ialah orang-orang yang secara horizontal berhasil menjadi khalifah dan secara vertikal berhasil juga menjadi hamba (’abid). Orang ini telah berhasil menjalin relasi yang sangat harmonis, bukan hanya dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia dan sesama makhluk lainnya, tidak terkecuali benda-benda alam. Untuk sampai ke tingkat ini memang memerlukan tahapan kesungguhan dari olah fisik, olah nalar, sampai kepada olah batin. Kelompok inilah yang mendapatkan keistimewaan khusus dari Allah Swt sebagaimana dalam firmannya: وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-’Ankabut/29:69).

03/03/09

Ponari Dan Cermin kemiskinan

Mohammad Ponari (9 tahun), anak SD kelas 3, warga dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, tiba-tiba saja menjadi “Dukun Tiban” (jadi dukun mendadak). Dengan berbekal “batu ajaib”, ia mengobati pasiennya dengan cara mencelupkan batu saktinya ke segelas air lalu si pasien disuruh meminumnya, dan konon sang pasien merasa sembuh. Ada kalanya Ponari melakukan pijatan ke tubuh pasien yang mengalami kelumpuhan. Sejak namanya tenar sebagai “juru penyembuh”, rumahnya dibanjiri puluhan ribu calon pasien yang tumpah ruah datang ke dusunnya. Bagaimana awal mulanya Ponari mendapatkan batu ajaib itu ? Begini kisahnya, Ponari bermain di bawah guyuran air hujan dan petir menyambar-nyambar di atasnya. Tiba-tiba tubuh bocah itu kemasukkan hawa panas, seperti batu terkena sambaran petir. Saat itulah di bawahnya muncul batu sebesar kepalan tangan, berwarna kehitaman. Batu ini, oleh Ponari dibawa pulang. Oleh neneknya, batu itu sempat dibuang. namun konon batu itu muncul kembali ke rumahnya. Awal mula Ponari bisa mengobati orang sakit, terjadi setelah salah seorang tetangganya menderita sakit. Tanpa sadar, Ponari memberi minuman air putih yang telah dicelupi batu temuannya itu. Menurut pengakuan warga dusun itu, orang yang diberi minuman Ponari itu bisa sembuh. Peristiwa ini menjadi bahan pembicaraan warga dusun. Ceritera “kesaktian” Ponari ini akhirnya menyebar dari mulut ke mulut ke berbagai tempat. Puluhan ribu orangpun kemudian berbondong-bondong ke rumah Ponari untuk memperoleh pengobatan air celupan batu. Kebanyakan yang menyerbu ke rumah Ponari adalah kalangan orang-orang miskin, walaupun ada juga orang kaya yang ikut nimbrung terutama yang frustasi karena penyakitnya tak kunjung sembuh meski sudah berobat ke dokter. Kerumunan puluhan ribu pasien yang saling desak mendesak mengantri ke rumah Poniri, akhirnya meminta korban 4 orang tewas. Peristiwa ini mendorong Muspida Kabupaten Jombang menghentikan praktek pengobatan Ponari sejak 12 Februari 2009 lalu untuk selamanya. Adakah pasien yang sembuh, dan apakah ia benar-benar sembuh ataukah hanya sugesti ? Ada yang menyatakan sembuh, tapi banyak yang menyatakan tak ada perubahan sama sekali. Fenomena apakah peristiwa Ponari ini? Fenomena Ponari adalah cermin kemiskinan dari masyarakat. Masyarakat miskin sekarang ini tak mampu berobat ke dokter maupun ke rumah sakit yang biayanya terasa amat mahal. Disamping itu pelayanan kesehatan yang murah dari pemerintah belum memenuhi kebutuhan masyarakat bawah, terutama di dusun-dusun. Maka tak heran jika masyarakat miskin maupun masyarakat yang tingkat ekonominya belum mapan, membanjiri rumah Ponari untuk mendapatkan pengobatan yang murah dan meriah. Fenomena Ponari juga mencerminkan masih kuatnya orang-orang percaya pada hal-hal yang mistik ketimbang hal yang rasional di bidang pengobatan maupun lainnya.

02/03/09

Bid'ah...Bagaimana Memahaminya?

Salah satu isu besar yang mengancam persatuan umat Islam adalah isu bid'ah. Akhir-akhir ini, kata itu makin sering kita dengar, makin sering kita ucapkan dan makin sering pula kita gunakan untuk memberi label kepada saudara-saudara kita seiman. Bukan labelnya yang dimasalahkan, tapi implikasi dari label tersebut yang patut kita cermati, yaitu anggapan sebagian kita bahwa mereka yang melakukan bid'ah adalah aliran sesat. Karena itu aliran sesat, maka harus dicari jalan untuk memberantasnya atau bahkan menyingkirkannya. Kita merasa sedih sekarang ini, makin banyak umat Islam yang menganggap saudaranya sesat karena isu bid'ah dan sebaliknya kita makin prihatin sering mendengar umat Islam yang mengeluh atau menyatakan sakit hati dan bahkan marah-marah karena dirinya dianggap sesat oleh saudaranya seiman. Yang paling mudah kita baca dari kasus tersebut adalah adanya trend makin maraknya umat Islam saling bermusuhan dan saling mencurigai sesama mereka dengan menggunakan isu bid'ah. Mari kita renungkan, apakah kondisi seperti itu harus terjadi terus menerus di kalangan umat Islam? Di beberapa negara Muslim, seperti di Pakistan, isu itu telah menyulut perang saudara berdarah antar umat Islam hingga saat ini. Sudah tak terhitung nyawa yang melayang karena pertikian seperti itu.Mari kita simak sejenak fatwa Syeh Azhar Atiyah Muhammad Saqr yang dikeluarkan pada tahun 1997. Bahwa sebenarnya isu bid'ah yang berkembang di masyarakat Muslim saat ini disebabkan oleh perbedaan memaknai bi'dah apakah secara etimologis (bahasa) atau terminologis (istilah). Syeh Atiyah menjelaskan lebih jauh:Dalam kitab "Al-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Athar" karangan Ibnu Atsir dalam pembahasan "ba da 'a" (asal derivatif kata bid'ah) dan dalam pembahasan hadist Umar r.a. masalah menghidupkan malam Ramadhan ": نعمت البدعة هذه" Inilah sebaik-baik bid'ah", dikatakan bahwa bid'ah terbagi menjadi dua, ada 1) bid'ah huda (bid'ah benar sesuai petunjuk) dan ada 2) bid'ah sesat. Bid'ah yang betentangan dengan perintah Allah dan Rasulnya s.a.w. maka itulah bid'ah yang dilarang dan sesat. Dan bid'ah yang masuk dalam generalitas perintah Allah dan Rasulnya s.a.w. maka itu termasuk bid'ah yang terpuji dan sesuai petunjuk agama. Apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. tapi sesuai dengan perintah agama, termasuk pekerjaan yang terpuji secara agama seperti bentuk-bentuk santunan sosial yang baru. Ini juga bid'ah namun masuk dalam ketentuan hadist Nabi s.a.w. diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah oleh Imam Muslim:‏من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيء"Barang siapa merintis dalam Islam pekerjaaan yang baik kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan sama dengan orang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa merintis dalam Islam pekerjaan yang tercela, kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan dosa orang yang melakukannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun" (H.R. Muslim). Stateman Umar bin Khattab r.a. "Inilah bid'ah terbaik" masuk kategori bid'ah yang terpuji. Umar melihat bahwa sholat tarawih di masjid merupakan bid'ah yang baik, karena Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukannya, tapi Rasulullah s.a.w. melakukan sholat berjamaah di malam hari Ramadhan beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak melakukannya secara kontinyu, apalagi memerintahkan umat islam untuk berjamaah di masjid seperti sekarang ini. Demikian juga pada zaman Abu Bakar r.a. sholat Tarawih belum dilaksanakan secara berjamaah. Umar r.a. lah yang memulai menganjurkan umat Islam sholat tarawih berjamaah di masjid.Para ulama melihat bahwa melestarikan tindakan Umar tesebut, termasuk sunnah karena Rasulullah s.a.w. pernah bersabda "Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaurrashiidn setelahku" (H.R. Ibnu Majah dll.) Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda: "Ikutilah dua orang setelahku, yaitu ABu Bakar dan Umar". (H.R. Tirmidzi dll).Dengan pengertian seperti itu, maka menafsirkan hadist Rasulullah s.a.w. "كل محدثة بدعة" yang artinya "setiap baru diciptakan dalam agama adalah bid'ah" harus dengan ketentuan bahwa hal baru tersebut memang bertentangan dengan aturan dasar syariat dan tidak sesuai dengan ajaran hadist.Mengkaji masalah bid'ah memerlukan pendefinisian yang berkembang dan muncul di seputar penggunaan kata bid'ah tersebut. Perbedaan definisi bisa berpengaruh pada perbedaan hukum yang diterapkan. Tanpa mendefinisikan bid'ah secara benar maka kita hanya akan terjerumus pada perbedaan hukum, perbedaan pendapat dan bahkan pertikaian. Demikian juga mendefinisikan bid'ah yang sesat dan masuk neraka, tidaklah mudah.Dari beberapa literatur Islam yang ada, dapat disimpulkan sebagai berikut:Para ulama dalam mendefinisikan bid'ah, terdapat dua pendekatan yaitu kelompok pertama menggunakan pendekatan etimologis (bahasa) dan kelompok kedua menggunakan pendekatan terminologis (istilah).Golongan pertama mencoba mendefinisikan bid'ah dengan mengambil akar derivatif kata bid'ah yang artinya penciptaan atau inovasi yang sebelumnya belum pernah ada. Maka semua penciptaan dan inovasi dalam agama yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah s.a.w. disebut bid'ah, tanpa membedakan antara yang baik dan buruk dan tanpa membedakan antara ibadah dan lainnya. Argumentasi untuk mengatakan demikian karena banyak sekali ditemukan penggunakan kata bid'ah untuk baik dan kadang kala juga digunakan untuk hal tercela.Imam Syafi'i r.a. berkata: "Inovasi dalam agama ada dua. Pertama yang bertentangan dengan kitab, hadist dan ijma', inilah yang sesat. Kedua inovasi dalam agama yang baik, inilah yang tidak tercela."Ulama yang menganut metode pendefinisan bid'ah dengan pendekatan etimologis antara lain Izzuddin bin Abdussalam, beliau membuat kategori bid'ah ada yang wajib seperti melakukan inovasi pada ilmu-ilmu bahasa Arab dan metode pengajarannya, kemudian ada yang sunnah seperti mendirikan madrasah-madrasah Islam, ada yang diharamkan seperti merubah lafadz al-Quran sehingga keluar dari bahasa Arab, ada yang makruh seperti mewarna-warni masjid dan ada yang halal seperti merekayasa makanan.Golongan kedua mendefinisikan bid'ah adalah semua kegiatan baru di dalam agama, yang diyakini itu bagian dari agama padahal sama sekali bukan dari agama. Atau semua kegiatan agama yang diciptakan berdampingan dengan ajaran agama, dan disertai keyakinan bahwa melaksakan kegiatan tersebut merupakan bagian dari agama. Kegiatan tersebut emncakup bidang agama dan lainnya. Sebagian ulama dari golongan ini mengatakan bahwa bid'ah hanya berlaku di bidang ibadah. Dengan definisi seperti ini, semua bid'ah dalam agama dianggap sesat dan tidak perlu lagi dikategorikan dengan wajib, sunnah, makruh dan mubah. Golongan ini mengimplementasikan hadist "كل بدعة ضلالة" yang artinya "setiap bid'ah adalah sesat", terhadap semua bid'ah yang ada sesuai defisi tersebut. Demikian juga statemen imam Malik: "Barang siapa melakukan inovasi dalam agama Islam dengan sebuah amalan baru dan menganggapnya itu baik, maka sesungguhnya ia telah menuduh Muhammad s.a.w. menyembunyikan risalah, karena Allah s.w.t. telah menegaskan dalam surah al-Maidah:3 yang artinya " Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu", adalah dalam konteks definisi bid'ah di atas. Adapun pernyataan Umar r.a. dalam masalah sholat Tarawih bahwa "itu sebaik-baik bid'ah" adalah bid'ah dalam arti bahasa (etimologis).Lepas dari kajian bid'ah di atas, sesungguhnya tema bid'ah merupakan tema yang cukup rumit dan panjang dalam sejarah pemikiran Islam. Pelabelan ahli bid'ah terhadap kelompok Islam tertentu mulai marak dan muncul, pada saat munculnya polemik dan konflik pemikiran dalam dunia Islam. Merespon polemik pemikiran Islam tersebut, Abu Hasan Al-Asy'ari (meninggal tahun 304 H) menulis buku "Alluma' fi al-radd 'ala Ahlil Zaighi wal Bida'" (Catatan Singkat untuk menentang para pengikut aliran sesat dan bid'ah). Setelah itu muncullah kajian-kajian yang makin marak dan gencar dalam mengulas masalah bid'ah.Imam Ghozali dalam Ihya' Ulumuddin (1/248) menegaskan:"Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik, sebagaimana dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu termasuk inovasi agama yang dilakukan oleh Umar r.a.. Adapun bid'ah yang sesat adalah bid'ah yang bertentangan dengan sunnah atau yang mengantarkan kepada merubah ajaran agama. Bid'ah yang tercela adalah yang terjadi pada ajaran agama, adapun urusan dunia dan kehidupan maka manusia lebih tahu urusannya, meskipun diakui betapa sulitnya membedakan antara urusan agama dan urusan dunia, karena Islam adalah sistem yang komprehensif dan menyeluruh. Ini yang menyebabkan sebagian ulama mengatakan bahwa bid'ah itu hanya terjadi dalam masalah ibadah, dan sebagian ulama yang lain mengatakan bid'ah terjadi di semua sendi kehidupan.Akhirnya juga bisa disimpulkan bahwa bid'ah terjad dalam masalah aqidah, ibadah, mu'amalah (perniagaan) dan bahkan akhlaq. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa semua tingkah laku dan pekerjaan Rasulullah s.a.w. adalah suri tauladan bagi umatnya. Apakah semua pekerjaan Rasulullah s.a.w. dan tingkah lakunya wajib diikuti 100 persen, ataukah sebagian itu sunnah untuk diikuti dan sebagian bolah tidak diikuti? Apakah meninggalkan sebagian pekerjaan yang pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. (yang bukan termasuk ibadah) dosa atau tidak? Contohnya seperti adzan dua kali waktu sholat Jum'at, menambah tangga mimbar sebanyak tiga tingkat, melakukan sholat dua rakaat sebelum Jum'at, membaca al-Quran dengan suara keras atau memutas kaset Qur'an sebelum sholat Jum'at, muadzin membaca sholawat dengan suara keras setelah adzan, bersalaman setelah sholat, membaca "sayyidina" pada saat tahiyat, mencukur jenggot. Sebagian ulama menganggap itu semua bid'ah karena tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan sebagian lain menganggap itu merupakan inovasi beragama yang diperbolehkan dan baik, dan tidak betentangan dengan ketentuan umum agama Islam. Demikian juga masalah peringatan maulid nabi dan peringatan Islam lainnya, seperti Nuzulul Qur'an, Isra' Mi'raj, Tahun Baru Hijriyah, sebagian ulama melihat itu bid'ah dan sebagian lainnya menganggap itu bukan bid'ah sejauh diisi dengan kegiatan-kegiatan agama yang baik. Perbedaan para ulama di seputar masalah tersebut terkembali pada perbedaan mereka dalam mengartikan bid'ah itu sendiri, seperti dijelaskan di atas.Yang perlu kita garis bawahi lagi, bahwa ajaran agama kita dalam merubah kemungkaran yang disepakati bahwa itu kemungkaran adalah dengan cara yang ramah dan nasehat yang baik. Tentu merubah kemungkaran yang masih dipertentangkan kemungkarannya juga harus lebih hati-hati dan bijaksana. Permasalahan yang masih menjadi khilafiyah (terjadi perbedaan pendapat) di antara para ulama, tidak seharusnya disikapi dengan bermusuhan dan percekcokan, apalagi saling menyalahkan dan menganggap sesat. Mereka yang menganggap dirinya paling benar dan menganggap akidahnya yang paling selamat, dan lainnya adalah sesat dan rusak, hendaklah ia berhati-hati karena jangan-jangan dirinya telah terancam kerusakan dan telah dihinggapi oleh teologi permusuhan.Wallahu a'lam bissowab

Sekuntum Cinta Pengantin Surga

Cinta itu mensucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, memunculkan keberanian, mendorong berpenampilan rapi, membangkitkan selera makan, menjaga akhlak mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shaleh dan cobaan bagi ahli ibadah,” Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya Raudah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin memberikan komentar mengenai pengaruh cinta dalam kehidupan seseorang.Bila seorang kekasih telah singgah di hati, pikiran akan terpaut pada cahaya wajahnya, jiwa akan menjadi besi dan kekasihnya adalah magnit. Rasanya selalu ingin bertemu meski sekejab. Memandang sekilas bayangan sang kekasih membuat jiwa ini seakan terbang menuju langit ke tujuh dan bertemu dengan jiwanya.Indahnya cinta terjadi saat seorang kekasih secara samar menatap bayangan orang yang dikasihi. Bayangan indah itu laksana air yang menyirami, menyegarkan, menyuburkan pepohonan taman di jiwa.Dahulu di kota Kufah tinggallah seorang pemuda tampan rupawan yang tekun dan rajin beribadat, dia termasuk salah seorang yang dikenal sebagai ahli zuhud. Suatu hari dalam pengembaraannya, pemuda itu melewati sebuah perkampungan yang banyak dihuni oleh kaum An-Nakha’. Demi melepaskan penat dan lelah setelah berhari-hari berjalan maka singgahlah dia di kampung tersebut. Di persinggahan si pemuda banyak bersilaturahim dengan kaum muslimin. Di tengah kekhusyu’annya bersilaturahim itulah dia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita. Sepasang mata bertemu, seakan saling menyapa, saling bicara. Walau tak ada gerak lidah! Tak ada kata-kata! Mereka berbicara dengan bahasa jiwa. Karena bahasa jiwa jauh lebih jujur, tulus dan apa adanya. Cinta yang tak terucap jauh lebih berharga dari pada cinta yang hanya ada di ujung lidah. Maka jalinan cintapun tersambung erat dan membuhul kuat. Begitulah sejak melihatnya pertama kali, dia pun jatuh hati dan tergila-gila. Sebagai anak muda, tentu dia berharap cintanya itu tak bertepuk sebelah tangan, namun begitulah ternyata gayung bersambut. Cintanya tidak berada di alam khayal, tapi mejelma menjadi kenyataan. Benih-benih cinta itu bagai anak panah melesat dari busurnya, pada pertemuan yang tersamar, pertemuan yang berlangsung sangat sekejab, pertemuan yang selalu terhalang oleh hijab. Demikian pula si gadis merasakan hal serupa sejak melihat pemuda itu pada kali yang pertama. Begitulah cinta, ketika ia bersemi dalam hati… terkembang dalam kata… terurai dalam perbuatan…Ketika hanya berhenti dalam hati, itu cinta yang lemah dan tidak berdaya. Ketika hanya berhenti dalam kata, itu cinta yang disertai dengan kepalsuan dan tidak nyata…Ketika cinta sudah terurai jadi perbuatan, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tertegak dalam kata, buahnya menjumbai dalam perbuatan. Persis seperti iman, terpatri dalam hati, terucap dalam lisan, dan dibuktikan oleh amal.Semakin dalam makna cinta direnungi, semakin besar fakta ini ditemukan. Cinta hanya kuat ketika ia datang dari pribadi yang kuat, bahwa integritas cinta hanya mungkin lahir dari pribadi yang juga punya integritas. Karena cinta adalah keinginan baik kepada orang yang kita cintai yang harus menampak setiap saat sepanjang kebersamaan.Begitupun dengan si pemuda, dia berpikir cintanya harus terselamatkan! Agar tidak jadi liar, agar selalu ada dalam keabadian. Ada dalam bingkai syari’atnya. Akhirnya diapun mengutus seseorang untuk meminang gadis pujaannya itu. Akan tetapi keinginan tidak selalu seiring sejalan dengan takdir Allah. Ternyata gadis tersebut telah dipertunangkan dengan putera bapak saudaranya. Mendengar keterangan ayah si gadis itu, pupus sudah harapan si pemuda untuk menyemai cintanya dalam keutuhan syari’at. Gadis yang telah dipinang tidak boleh dipinang lagi. Tidak ada jalan lain. Tidak ada jalan belakang, samping kiri, atau samping kanan. Mereka sadar betul bahwa jalinan asmaranya harus diakhiri, karena kalau tidak, justeru akan merusak ’anugerah’ Allah yang terindah ini. Bayangkan, bila dua kekasih bertemu dan masing-masing silau serta mabuk oleh cahaya yang terpancar dari orang yang dikasihi, ia akan melupakan harga dirinya, ia akan melepas baju kemanusiaannya dengan menabrak tabu. Dan, sekali bunga dipetik, ia akan layu dan akhirnya mati, dipijak orang karena sudah tak berguna. Jalan belakang ’back street’ tak ubahnya seperti anak kecil yang merusak mainannya sendiri. Penyesalan pasti akan datang belakangan, menangispun tak berguna, menyesal tak mengubah keadaan, badan hancur jiwa binasa.Cinta si gadis cantik dengan pemuda tampan masih menggelora. Mereka seakan menahan beban cinta yang sangat berat. Si gadis berpikir barangkali masih ada celah untuk bisa ’diikhtiarkan’ maka rencanapun disusun dengan segala kemungkinan terpahit. Maka si gadis mengutus seorang hambanya untuk menyampaikan sepucuk surat kepada pemuda tambatan hatinya: ”Aku tahu betapa engkau sangat mencintaiku dan karenanya betapa besar penderitaanku terhadap dirimu sekalipun cintaku tetap untukmu. Seandainya engkau berkenan, aku akan datang berkunjung ke rumahmu atau aku akan memberikan kemudahan kepadamu bila engkau mau datang ke rumahku.” Setelah membaca isi surat itu dengan seksama, si pemuda tampan itu pun berpesan kepada kurir pembawa surat wanita pujaan hatinya itu.“Kedua tawaran itu tidak ada satu pun yang kupilih! Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar bila aku sampai durhaka kepada Tuhanku. Aku juga takut akan neraka yang api dan jilatannya tidak pernah surut dan padam.” Pulanglah kurir kekasihnya itu dan dia pun menyampaikan segala yang disampaikan oleh pemuda tadi. Tawaran ketemuan? Dua orang kekasih? Sungguh sebuah tawaran yang memancarkan harapan, membersitkan kenangan, menerbitkan keberanian. Namun bila cinta dirampas oleh gelora nafsu rendah, keindahannya akan lenyap seketika. Dan berubah menjadi naga yang memuntahkan api dan menghancurkan harga diri kita. Sungguh heran bila saat ini orang suka menjadi korban dari amukan api yang meluluhlantakkan harga dirinya, dari pada merasakan keindahan cintanya.“Sungguh selama ini aku belum pernah menemukan seorang yang zuhud dan selalu takut kepada Allah swt seperti dia. Demi Allah, tidak seorang pun yang layak menyandang gelar yang mulia kecuali dia, sementara hampir kebanyakan orang berada dalam kemunafikan.” Si gadis berbangga dengan kesalehan kekasihnya. Setelah berkata demikian, gadis itu merasa tidak perlu lagi kehadiran orang lain dalam hidupnya. Pada diri pemuda itu telah ditemukan seluruh keutuhan cintanya. Maka jalan terbaik setelah ini adalah mengekalkan diri kepada ’Sang Pemilik Cinta’. Lalu diapun meninggalkan segala urusan duniawinya serta membuang jauh-jauh segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Memakai pakaian dari tenunan kasar dan sejak itu dia tekun beribadat, sementara hatinya merana, badannya juga kurus oleh beban cintanya yang besar kepada pemuda yang dicintainya. Bila kerinduan kepada kekasih telah membuncah, dan dada tak sanggup lagi menahahan kehausan untuk bersua, maka saat malam tiba, saat manusia terlelap, saat bumi menjadi lengang, diapun berwudlu. Shalatlah dia dikegelapan gulita, lalu menengadahkan tangan, memohon bantuan Sang Maha Pencipta agar melalui kekuasaa-Nya yang tak terbatas dan dapat menjangkau ke semua wilayah yang tak dapat tersentuh manusia., menyampaikan segala perasaan hatinya pada kekasih hatinya. Dia berdoa karena rindu yang sudah tak tertanggungkan, dia menangis seolah-olah saat itu dia sedang berbicara dengan kekasihnya. Dan saat tertidur kekasihnya hadir dalam mimpinya, berbicara dan menjawab segala keluh-kesah hatinya.Dan kerinduannya yang mendalam itu menyelimuti sepanjang hidupnya hingga akhirnya Allah memanggil ke haribaanNya. Gadis itu wafat dengan membawa serta cintanya yang suci. Yang selalu dijaganya dari belitan nafsu syaithoni. Jasad si gadis boleh terbujur dalam kubur, tapi cinta si pemuda masih tetap hidup subur. Namanya masih disebut dalam doa-doanya yang panjang. Bahkan makamnya tak pernah sepi diziarahi. Cinta memang indah, bagai pelangi yang menyihir kesadaran manusia. Demikian pula, cinta juga sangat perkasa. Ia akan menjadi benteng, yang menghalau segala dorongan yang hendak merusak keindahan cinta yang bersemayam dalam jiwa. Ia akan menjadi penghubung antara dua anak manusia yang terpisah oleh jarak bahkan oleh dua dimensi yang berbeda. Pada suatu malam, saat kaki tak lagi dapat menyanggah tubuhnya, saat kedua mata tak kuasa lagi menahan kantuknya, saat salam mengakhiri qiyamullailnya, saat itulah dia tertidur. Sang pemuda bermimpi seakan-akan melihat kekasihnya dalam keadaan yang sangat menyenangkan. “Bagaimana keadaanmu dan apa yang kau dapatkan setelah berpisah denganku?” Tanya Pemuda itu di alam mimpinya.Gadis kekasihnya itu menjawab dengan menyenandungkan untaian syair: Kasih… cinta yang terindah adalah mencintaimu, sebuah cinta yang membawa kepada kebajikan. Cinta yang indah hingga angin syurga berasa malu burung syurga menjauh dan malaikat menutup pintu. Mendengar penuturan kekasihnya itu, pemuda tersebut lalu bertanya kepadanya, “Di mana engkau berada?” Kekasihnya menjawab dengan melantunkan syair:Aku berada dalam kenikmatan dalam kehidupan yang tiada mungkin berakhirberada dalam syurga abadi yang dijagaoleh para malaikat yang tidak mungkin binasayang akan menunggu kedatanganmu, wahai kekasih…“Di sana aku bermohon agar engkau selalu mengingatku dan sebaliknya aku pun tidak dapat melupakanmu!” Pemuda itu mencoba merespon syair kekasihnya “Dan demi Allah, aku juga tidak akan melupakan dirimu. Sungguh, aku telah memohon untukmu kepada Tuhanku juga Tuhanmu dengan kesungguhan hati, hingga Allah berkenan memberikan pertolongan kepadaku!” jawab si gadis kekasihnya itu.“Bilakah aku dapat melihatmu kembali?” Tanya si pemuda menegaskan“Tak lama lagi engkau akan datang menyusulku kemari,” Jawab kekasihnya. Tujuh hari sejak pemuda itu bermimpi bertemu dengan kekasihnya, akhirnya Allah mewafatkan dirinya. Allah mempertemukan cinta keduanya di alam baqa, walau tak sempat menghadirkan romantismenya di dunia. Allah mencurahkan kasih sayang-Nya kepada mereka berdua menjadi pengantin syurga.Subhanallaah! Cinta memiliki kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau cinta membutuhkan aturan. Tidak lain dan tidak bukan, agar cinta itu tidak berubah menjadi cinta yang membabi buta yang dapat menjerumuskan manusia pada kehidupan hewani dan penuh kenistaan. Bila cinta dijaga kesuciannya, manusia akan selamat. Para pasangan yang saling mencintai tidak hanya akan dapat bertemu dengan kekasih yang dapat memupus kerinduan, tapi juga mendapatkan ketenangan, kasih sayang, cinta, dan keridhaan dari dzat yang menciptakan cinta yaitu Allah SWT. Di negeri yang fana ini atau di negeri yang abadi nanti.“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum}
lihat :Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya Raudah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin

Pacaran Islami...Adakah?

a. Islam Mengakui Rasa CintaIslam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.“Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .”(QS. Ali Imran :14).Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mengejawantahkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semau itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku”.b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan FormalNamun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.Bahkan lebih ‘keren’nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan ‘pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `the real gentleman`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentleman atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man.Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Kecuali memang ada hubungan `mahram` (keharaman untuk menikahi). Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.c. Pacaran Bukan CintaMelihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berentu sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemuan langsung.Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan seterusnya.Padahal cinta itu memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / PerkenalanBahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya dari data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,”Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa’ fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha’ Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebaga ta’aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemua dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan pengelabuhan.Dan tidak heran kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja. siapa membantah???